Pada mulanya, nama Pañjalu pembacaan yang tepat sesuai dengan aksara adalah Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Panjalu, bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung di dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Song yang berjudul Ling-wai-tai-ta (Hanzi: 嶺外代答; Pinyin: Lĭngwài Dàidā) tahun 1178 M. Sebuah kitab geografi yang ditulis pada abad ke-12 M, oleh Chou Ch'u-fei (Pinyin: Zhōu Qùfēi) seorang birokrat di kota Guilin, provinsi Guanxi.
Pangjalu berasal dari kata Jalu yang memiliki arti Jantan atau Pria (maskulinitas), selanjutnya diberi unsur kata Pang yang adalah Pe, merupakan tambahan sehingga menjadi kalimat Pe-jantan dalam konteks kewilayahan istilah pejantan tersebut bermakna wilayah yang subur serta berdikari atau mandiri. Istilah Kadiri merupakan sinonim atau persamaan kata dari Pangjalu yang bermakna kemandirian. Kasus tersebut mirip dengan nama Majapahit dengan Wilwatikta, dimana wilwa adalah buah maja sedangkan tikta adalah pahit.
Nama "Kadiri" atau "Kediri" juga berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan. Nama yang serupa juga dikenal dengan Kadiri sebuah kota di Andhra Pradesh, India. Asal usul kata yang dipandang lebih tepat adalah diturunkan dan berasal dari kata "kadiri" dalam Bahasa Jawa kuno yang berarti bisa berdiri sendiri, mandiri, berdiri tegak, berkepribadian, atau berswasembada.[3]
Raja Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh saingan berat kedatuan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Haji Wurawari seorang raja bawahan dari Lwaram sekitar Cepu, Blora bersekutu dengan Sriwijaya untuk menyerang istana Wwatan sekarang sekitar Maospati, Magetan ibu kota dari kerajaan Medang, yang pada saat itu tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan antara putri Dharmawangsa Teguh dengan Airlangga, raja Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga bersama dengan putri Dharmawangsa berhasil lolos ditemani pembantunya Mpu Narotama.
Airlangga adalah putra dari pasangan Mahendradatta saudari Dharmawangsa Teguh dengan Udayana raja dari kerajaan Bedahulu, Bali. ia lolos bersama putri Dharmawangsa dengan ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan Vana giri sekarang Wonogiri, dan selanjutnya menuju Sendang Made, Kudu, Jombang.
Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia untuk menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Atas dukungan para pendeta dari ketiga aliran yakni (Hindu, Buddha, dan Mahabrahmana) ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut. Yang lazim dikenal sekarang dengan kerajaan Medang Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibu kota baru yang bernama Watan Mas.
Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan kerajaan Medang yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah kedatuan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari kerajaan Chola, wilayah Coromandel, India di tahun 1025, Airlangga baru bisa dengan leluasa membangun kembali dan menegakkan kekuasaan wangsa Isyana di tanah Jawa.
Tahun 1032, menurut prasasti Terep, Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang.
Di tahun 1037, dikeluarkan prasasti Kusambyan memuat informasi mengenai keraton Madander yang diperkirakan sebagai lokasi dari istana Airlangga yang terletak di sekitar Kabupaten Jombang.
Pada tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, di akhir masa pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha, Kota Kediri.
Di dalam Kakawin Desyawarnana yang ditulis oleh Empu Prapañca, seorang pujangga dan bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit. Menyebutkan Airlangga yang telah berpindah ibu kota dan memerintah dari Daha di wilayah Panjalu serta menyinggung tentang peristiwa pembelahan kerajaan.
Di masa-masa awal kerajaan Kadiri setelah peristiwa pembelahan tidak banyak diketahui, masa pemerintahan Sri Samarawijaya dianggap sebagai masa kegelapan karena belum ditemukan prasasti yang dikeluarkannya secara mandiri. Menurut prasasti Turun Hyang berangka tahun 1044 yang diterbitkan oleh kerajaan Janggala, hanya memberitakan adanya indikasi terjadi perang saudara diantara kedua kerajaan sepeninggal raja Airlangga. Sejarah dari kerajaan Kadiri mulai dapat diketahui dengan adanya prasasti Mataji, dikeluarkan oleh seorang raja bernama Sri Jitendra Kara yang berkuasa antara (1051-1112) Masehi. Prasasti Garaman dari pihak Janggala menyebutkan pada tahun 1053, Sri Mapanji Garasakan memberikan anugerah kepada desa Garaman atas bantuan ketika raja melawan Haji Panjalu musuh dan anak dari kakaknya sendiri, kemungkinan yang disebut sebagai Aji Panjalu saat itu adalah raja Jitendra Kara yang dalam prasasti Mataji juga menyebutkan kalimat Hajyan Panjalu. Selanjutnya diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan prasasti Karanggayam tahun 1112, pada prasasti Padlegan ia memperingati penetapan suatu daerah menjadi tanah sima sebagai anugerah dari raja Bameswara kepada para pejabat desa Padlegan, karena telah menunjukkan kesetiaannya kepada raja dengan mengorbankan jiwanya di medan pertempuran. Berikutnya dalam prasasti Hantang (1135 M) raja yang memerintah telah berganti kepada Sri Jayabhaya. Panjalu atau Kediri di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal di dalam prasasti Ngantang, yaitu Pangjalu Jayati, yang berarti Kadiri Menang.
Corak keagamaan pada masa Kadiri dapat dilihat dari tinggalan arkeologis yang ditemukan di daerah Kediri. Candi Gurah dan Candi Tondowongso menunjukkan latar belakang agama Hindu khususnya Siwa berdasarkan dari berbagai arcanya yang ditemukan. Candi Kepung Petirtaan yang dilihat adalah bersifat Hindu karena tidak terlihat adanya unsur Buddha pada struktur arsitekturnya, sedangkan di situs Adan-adan terdapat penemuan antara lain arca Dhyanibuddha Amitabha, fragmen lapik arca, dan kepala arca Bodhisatwa. Temuan tersebut menandakan bahwa peninggalan situs Adan-adan ini termasuk peninggalan Buddha aliran Mahayana.
Beberapa prasasti menyebutkan nama abhiseka atau nama gelar penobatan dari raja yang merupakan serapan dan berhubungan dengan Wisnu dalam kaitannya dengan konsep triwikrama misalnya (mahārāja šri Sarwweswara Triwikramāwatāraānindita). Triwikrama adalah nama lain dari Wamana (Mani, 1975 : 796). Wamana adalah awatara Mahawisnu kelima, yang telah menghitung tiga dunia dengan tiga langkahnya.
Hanya saja hal ini tidak secara langsung membuktikan bahwa Wisnuisme yang berkembang masa itu. Sebab landasan filosofis yang dikenal di Pulau Jawa ialah, semua raja dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu dalam mengurus rakyat dan dunia atau kerajaannya. Dalam sistem sosial kerajaan di masa tersebut terjadi hubungan dimana seorang raja dianggap merupakan titisan dewa yang merupakan konsep (dewaraja) yang membuat seorang raja memiliki kedudukan istimewa, raja dianggap sebagai pusat daya magis, yang merefleksikan daya magisnya pada alam sekitarnya sesuai dengan pandangan kosmologis masyarakat Jawa pada saat itu. Oleh karena itu, raja dianggap mempunyai pengaruh untuk memproteksi warganya agar tercapai suatu kesejahteraan.
Pada masa pemerintahan Sri Kameswara seorang pujangga bernama Mpu Dharmaja menciptakan mahakarya Kakawin Smaradahana (Asmaradahana) yang didedikasikan untuk Sri Kameswara dan permaisurinya Sri Kirana Ratu, putri dari kerajaan Janggala. Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya dewa Kamajaya dan dewi Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, dan dianggap merupakan inspirasi awal yang memunculkan cerita Panji, kisah cinta yang terinspirasi dari raja Kameswara dengan Sri Kirana. cerita Panji terfokus pada peyualangan romantika tokoh Panji dalam menemukan kekasih hatinya yaitu Candra Kirana.
Sejak pernikahan antara Dharma Udayana Warmadewa dengan Mahendradatta yang kemudian melahirkan Airlangga terlihat juga perkawinan peradaban antara kebudayaan Jawa Timur dan Bali, terjadi penguatan-penguatan peradaban dan menghasilkan beberapa perubahan yang mengarah terjadinya integrasi budaya Hindu Jawa di Bali. sekaligus tercapainya puncak kebudayaan Jawa-Bali Hindu di Bali terutama pada masa kekuasaan Raja Udayana ini Tampak terjadi penguatan penggunaan Bahasa Jawa Kuno yang di Bali disebut sebagai Bahasa Kawi yang tampaknya sejak saat itu semakin sering dipergunakan sebagaimana dapat dilihat dari aspek sosial budaya, hukum, pertahanan, ekonomi dan politik.
Di Pulau Bali, terdapat adanya unsur kata "Jaya" yang digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno. Adanya unsur yang sama tersebut rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam Kakawin Bhāratayuddha. Dalam kitab itu, dikatakan bahwa Sri Jayabhaya dari Kadiri sempat meluaskan kekuasaannya ke Nusantara bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya.
Perekonomian kerajaan Kadiri sangat bergantung pada perdagangan luar negerinya. Ekspor Jawa antara lain adalah gading, cula badak, mutiara, kayu wangi seperti kayu cendana, adas, cengkih, pala, sejenis belati yang disebut keris, belerang, kesumba, nuri putih, benang sulam, kapas, kain kepar, dan lain-lain, diproduksi di daerah-daerah yang menjadi vasal Kediri, seperti cengkih di Maluku dan kayu cendana di Pulau Timor. Lada adalah target utama kapal dagang Cina. Di sisi lain, impor dari Tiongkok termasuk piring emas dan perak, pernis, seladon dan perlengkapan porselen putih, dan bahan kimia seperti sinabar, tawas, dan arsen sulfida yang digunakan dalam produksi pencelupan dan kerajinan tangan. Selain itu, meskipun memiliki mata uangnya sendiri, sejumlah besar koin dari Dinasti Song dibawa masuk ke negara tersebut, yang menyebabkan berkembangnya ekonomi moneter di Kediri.
Menurut sumber berita dari Tiongkok, pekerjaan utama orang Panjalu berkisar pada pertanian (bercocok tanam padi), peternakan (sapi, babi hutan, unggas), dan perdagangan rempah-rempah. Daha, ibu kota Kerajaan Panjalu, terletak di pedalaman, dekat lembah sungai Brantas yang subur. Dari masa pemerintahan kerajaan sebelumnya Kahuripan, Panjalu mewarisi sistem irigasi, termasuk bendungan Waringin Sapta. Perekonomian Panjalu sebagian dimonetisasi, dengan koin emas dan perak yang dikeluarkan oleh istana.
Kerajaan Kadiri yang berkuasa di Jawa bersama dengan kedatuan Sriwijaya yang berbasis di Sumatera sepanjang abad ke 12 hingga ke-13, tampaknya telah mempertahankan hubungan perdagangan dengan Tiongkok dan sampai batas tertentu dengan India. Catatan Cina mengidentifikasi kerajaan ini sebagai Tsao-wa atau Chao-wa (Jawa), sejumlah catatan dari Tiongkok menandakan bahwa penjelajah dan pedagang Cina sering mengunjungi kerajaan ini. Hubungan dengan India adalah hubungan budaya, karena sejumlah Rakawi yaitu penyair atau sarjana Jawa menulis literatur yang diilhami oleh mitologi, kepercayaan, dan epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana. Pada abad ke-11, hegemoni Sriwijaya di kepulauan Nusantara mulai menurun, ditandai dengan invasi Rajendra Chola dari kerajaan Chola ke Semenanjung Malaya dan Sumatera. Melemahnya hegemoni Sriwijaya telah memungkinkan terbentuknya kerajaan-kerajaan regional seperti Panjalu, yang berbasis pertanian intensif selain daripada pesisir dan perdagangan. Belakangan kerajaan Kadiri juga berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah ke Maluku.
Pada tahun 1222 raja Srengga atau Kertajaya sedang berselisih dengan kaum Brahmana penyebabnya karena ia sang raja berkeinginan untuk disembah selayaknya dewa. Para pendeta yang menolak dan dengan kondisi terpojok tersebut kemudian pergi dari ibu kota kerajaan dan meminta perlindungan kepada seorang akuwu Tumapel (sekitar Malang sekarang) yang bernama Ken Angrok. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita ingin memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan dari Kadiri.
Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter (Genter), di wilayah timur Kadiri. Tatkala pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kadiri. Kertajaya sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan atau dianggap meninggal.
Kitab Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa). Kedua naskah tersebut sama-sama memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.
Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Tumapel. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 (1180 Saka) Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 (1193 Saka) Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Pada tahun 1292, raja bawahan sekaligus besan dari raja Kertanegara yaitu Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Angrok. Setelah berhasil membunuh Kertanagara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan leluhurnya Kadiri, namun hanya bertahan selama satu tahun (1292-1293), Jayakatwang kalah karena serangan yang dilancarkan oleh pasukan gabungan Kekaisaran Mongol dibawah Ike Mese dan pasukan menantu Kertanagara, Raden Wijaya pendiri Majapahit.
